Sejarah, Perang Salib



1. Pengertian Perang Salib
Kata salib berasal dari bahasa Salibun yang artinya kayu palang/silang (Heuken,1995:231). Peperangan tersebut disebut dengan Perang Salib karena karena di dada seragam merah yang dipakai tentara tergantung/terjahit tanda salib. Sehingga umat Islam yang memerangi mereka menyebutnya dengan nama perang Salib.

Perang Salib merupakan perang marathon yang berlangsung selama 200 tahun.Bangsa-bangsa Kristen Eropa bangkit dan memerangi pusat-pusat negeri Islam yang selama kurang lebih 90 tahun kerajaan latin tehak di Yerusalem, sebeleum akhirnya terusir dari sana. Dalam perspektif Kristen saat itu, perang ini merupakan serangkaian operasi militer terhadap musuh-musuh gereja yang bertujuan membebaskan tanah suci dari cengkeraman umat muslim.

Perang salib menurut beberapa pakar sejarah dinilai merupakan kelanjutan misi keagamaan dari para peziarah Kristen ke tempat-tempat suci agama Kristen (Yerusalem), yang dahulunya berada di bawah bendera perdamaian yang pada perkembangannya berubah menjadi misi perang. Hal ini ditunjukkan dengan adanya rombongan peziarah dibawah pimpinan mitaz tahun 1064 M yang memimpin 7000 peziarah bersenjata lengkap, lantaran termakan isu bahwa penguasa Yerusalem (waktu itu Bani Saljuk) telah melakukan penganiayaan terhadap para peziarah yang beragama Kristen.

Dalam Perang Salib lebih mengangkat motif agama sebagai masalah utama. Hal tersebut dimaksudkan tidak lain hanyalah untuk memberi suasana dahsyat pada peperangan itu, yang sulit diperoleh dan dibangkitkan dengan motif-motif lain. Dari ulasan di atas dapat disimpulkan bahwa Perang Salib adalah merupakan gerakan kaum Kristen untuk menguasai tempat-tempat suci, yang kemudian mereka pergi memerangi kaum muslimin di Palestina secara berulang-ulang dengan tujuan membersihkan tanah suci mereka (Yerusalem) dari kaum muslimin.

2. Latar Belakang Perang Salib

Perang Salib tidak hanya dilatarbelakangi oleh faktor agama saja, akan tetapi ada beberapa kepentingan yang turut mewarnai dalam Perang Salib tersebut, diantaranya :

 a. Faktor Agama

Direbutnya Baitul Maqdis (471 H) oleh Dinasti Seljuk dari kekuasaan Fathimiyah yang berkedudukan di Mesir menyebabkan kaum Kristen merasa tidak bebas dalam menunaikan
ibadah di tempat sucinya. Ketika idealisme keagamaan mulai menguap, para pemimpin
politik Kristen tetap saja masih berfikir keuntungan yang dapat diambil dari konsepsi
mengenai Perang Salib, dan untuk memperoleh kembali keleluasaannya berziarah ke tanah
suci Yerussalem. Pada tahun 1095 M, Paus Urbanus II berseru kepada umat Kristiani di Eropa supaya melakukan perang suci. Seruan Paus Urbanus II berhasil memikat banyak orang-orang karena dia menjanjikan sekaligus menjamin, barang siapa yang melibatkan diri dalam perang suci tersebut akan terbebas dari hukuman dosa.


b. Faktor Politik


Kekalahan Byzantium (Constantinople/Istambul) di Manzikart pada tahun 1071 M, dan jatuhnya Asia kecil dibawah kekuasaan Saljuk telah mendorong Kaisar Alexius I Comneus (kaisar Constantinople) untuk meminta bantuan Paus Urbanus II, dalam usahanya untuk kekuasaannya di daerah-daerah pendudukan Dinasti  Saljuk. Dilain pihak Perang Salib merupakan puncak sejumlah konflik antara negara-negara Barat dan negara-negara Timur, maksudnya antara umat Islam dan umat Kristen. Dengan dan kemajuan yang pesat menimbulkan kecemasan pada tokoh-tokoh Barat, sehingga mereka melancarkan serangan terhadap umat Islam. Situasi yang demikian mendorong penguasa-penguasa Kristen di Eropa untuk merebut
satu-persatu daerah-daerah kekuasaan Islam, seperti Mesir, Yerussalem, Damascus, Edessca dan lain-lainnya.


c. Faktor Sosial Ekonomi


Semenjak abad ke X, kaum muslimin telah menguasai jalur perdagangan di laut
tengah, dan para pedagang Eropa yang mayoritas Kristen merasa terganggu atas kehadiran pasukan muslimin, sehingga mereka mempunyai rencana untuk mendesak kekuatan kaum
muslimin dari laut itu.


Hal ini didukung dengan adanya ambisi yang luar biasa dari para pedagang-pedagang
besar yang berada di pantai Timur laut tengah (Venezia, Genoa dan Piza) untuk menguasai
sejumlah kota-kota dagang di sepanjang pantai Timur dan selatan laut tengah, sehingga
dapat memperluas jaringan dagang mereka, Untuk itu mereka rela menanggung sebagian
dana Perang Salib dengan maksud menjadikan kawasan itu sebagai pusat perdagangan
mereka, karena jalur Eropa akan bersambung dengan rute-rute perdagangan di Timur
melalui jalur strategis tersebut.


Disamping itu stratifikasi sosial masyarakat Eropa ketika itu terdiri dari tiga kelompok, yaitu kaum gereja, kaum bangsawan dan ksatria. Meskipun kelompok yang terakhir ini merupakan mayoritas di dalam masyarakat tetapi mereka sangat tertindas dan terhina. Oleh karena itu ketika mereka dimobilisasi oleh pihak gereja untuk turut mengambil bagian dalam Perang Salib dengan janji akan diberikan kebebasan dan kesejahteraan yang lebih baik, mereka menyambut seruan itu secara spontan dan berduyun-duyun melibatkan diri dalam peperangan tersebut, sehingga rakyat jelata beramai-ramai pula mengikuti mobilisasi umum itu dengan harapan yakni untuk  mendapatkan perbaikan ekonomi.


C. Periodenisasi Perang Salib


1. Perang Salib I (1094-1144 M)
Periode pertama Perang Salib disebut sebagai periode penaklukan. Jalinan kerja sama antara Kaisar Alexius I dan Paus Urbanus II, berhasil membangkitkan semangat umat
Kristen, terutama akibat pidato Paus Urbanus II, pada consili clermont pada tanggal 26
November 1095, yang intinya mewajibkan untuk melakukan Perang Salib bagi umat Kristiani sehingga terbentuk kaum Salibin.


Gerakan ini merupakan gerakan spontanitas yang diikuti oleh berbagai kalangan masyarakat Kristiani. Hasan Ibrahim (sejarawan penulis buku Tarikh Al-Islam) menggambarkan gerakan ini sebagai gerombolan rakyat jelata yang tidak mempunyai pengalaman berperang, gerakan ini dipimpin oleh Pierre I’ermite. Di sepanjang jalan menuju Constantinople mereka membuat keonaran bahkan terjadi bentrok dengan penduduk Hongaria dan Byzantium. Dengan adanya fenomena ini Dinasti Saljuk menyatakan perang terhadap gerombolan tersebut, sehingga akhirnya gerakan pasukan Salib dapat mudah dikalahkan.
 

Berawal dari kekalahan pihak kristiani Godfrey of Buillon mengambil alih kepemimpinan pasukan Salibin, sehingga mengubah kaum Salibin menjadi ekpedisi militer yang terorganisasi rapi. Dalam peperangan menghadapi pasukan Godfrey, pihak Islam mengalami kekalahan, sehingga mereka berhasil menduduki Palestina (Yerussalem) pada tanggal 07 Juni 1099.

Pasukan Godfrey ini melakukan pembantaian besar-besaran selama satu minggu terhadap umat Islam disamping itu mereka membumi hanguskan bangunan-bangunan umat Islam, sebelum pasukan ini menduduki Baitul Maqdis, mereka terlebih dahulu menaklukkan Anatolia, Tartur, Aleppo, Tripoli, Syam, dan Acre (Ahmad, 1999:124). Kemenangan pasukan Salib dalam periode ini telah mengubah peta situasi Dunia Islam kawasan itu.
 

Sebagai akibat dari kemenangan itu, berdirilah beberapa kerajaan Latin-Kristen di Timur, yaitu kerajaan Baitul Maqdis (1099 M) di bawah pemerintahan Raja Godfrey, Edessa (1098 M) diperintah oleh Raja Baldwin, dan Tripoli (1109 M) dibawah kekuasaan Raja Raymond. Perang Salib I ditandai oleh bangkitnya kerajaan Seljuk (Turki) yang memasuki Armenia, Asia kecil dan Syria, kemudian menyapu daerah kawasan Byzantium (Romawi) memporakporandakan angkatan perangnya di pertempuran Mazikert dan sepanjang laut tengah yang pada masa Alip Arselan dan Malik Syah, Yerussalempun dicaplok. Maka dari itu, Konstantinopel dibawah kepala gereja Hildeband yang menaiki tahta sebagai Paus Gregorius VII memohon bantuan dari para raja ksatria dan penduduk umumnya, sebab penakluk-penakluk dari Bani Seljuk itu dianggap berlaku kejam dan menindas orang-orang Kristen yang datang beribadah ke Baitul Maqdis.(Arsyad, 1993:77). 

Akan tetapi pada tahun 1095 M baru bisa menghimpun kekuatan sebesar 300.000 orang, atas usaha dari penggantinya yaitu Paus Urbanus II yang dibantu oleh guru bahasanya yaitu Peter, SangPertapa atau Peter Amiens. Peterlah yang menyerukan kepada seluruh raja dan pembesar raja Eropa-Kristen bersatu untuk memerangi Islam atas nama agama yang suci. Peter terus berkelana sambil terus berkampanye untuk itu.


Pada akhir tahun 1096 M dan awal tahun 1097 M, sekitar 150.000 tentara Salib sampai di Konstantinopel dibawah pimpinan Gadefroy, Bohemond dan Raymond. Pada awal tahun 1097 M tentara Salib mulai menyebrangi selat Bosporus lalu mengepung kota Niceae dan setelah dikepung selama sebulan, akhirnya kota jatuh ke tangan mereka pada tanggal 18 Juni 1097 M serta mereka dapat mengalahkan tentara Kalij Arsalan dari Bani Saljuk di Asia kecil. Pada tanggal 15 Juli 1099 tentara Salib mengepung Yerussalem selama tujuh hari dengan menyembelih tak kurang dari 70.000 umat Islam, dan pada saat itu pula Yerusalem dan kota-kota sekitarnya takluk. Kemudian tentara Salib mendirikan empat kerajaan Kristen yaitu di tanah suci Baitul Maqdis, Enthiokhie, Raha dan Tripolisyam, sedangkan Nicola dikembalikan pada Kaisar Byzantium.


b. Perang Salib II (1144-1193 M)
Perang Salib II juga terjadi sebab bangkitnya Bani Seljuk dan jatuhnya Halab (Aleppo), Edessa, dan sebagian negeri Syam ke tangan Imaddudin Zanky (1144 M). Setelah Imaduddin meninggal, ia digantikan oleh puteranya yang bernama Nuruddin dan dibantu oleh Shalahuddin hingga tahun 1147 M. Perang Salib II ini dipimpin oleh Lode wiyk VII atau Louis VII (Raja Perancis), Bernard de Clairvaux dan Concrad III dari Jerman. Laskar Islam yang terdiri dari bangsa Turki, Kurdi dan Arab dipimpin oleh Nuruddin Sidi Saefuddin Gazi dan Mousul dan dipanglimai oleh Shalahuddin Yusuf ibn Ayyub.


Pada tanggal 4 Juli 1187 terjadi pertempuran antara pasukan Shalahuddin dengan tentara Salib di Hittin dekat Baitul Maqdis. Dalam pertempuran ini kaum muslimin dapat menghancurkan pasukan Salib, sehingga raja Baitul Maqdis dan Ray Mond tertawan dan dijatuhi hukuman mati. Kemenangan Shalahuddin dalam peperangan ini memberikan peluang yang besar untuk merebut kota-kota lainnya.Termasuk Baitul Maqdis, Yerussalem, Al Qudus. Pada saat kota Yerussalem direbut tentara Salib, mereka melakukan pembunuhan besar besaran terhadap orang Islam, tetapi ketika kota itu direbut kembali oleh Shalahuddin, kaum muslimin tidak melakukan pembalasan terhadap mereka, bahkan memperlakukan mereka dengan baik dan lemah lembut. Pada saat Baitul Maqdis kembali ke tangan Umat Islam kembalilah suara adzan berkumandang dan lonceng gereja berhenti berbunyi serta Salib emas diturunkan dari kubah sakrah (Abyan dan Nurhuzaina, 1987:152).


Dalam periode ini disebut sebagai periode reaksi umat Islam atas jatuhnya beberapa wilayah kekuasaan Islam ke tangan kaum Salib telah membangkitkan kesadaran kaum muslimin untuk menghimpun kekuatan guna menghadapi kaum Salibin. Di bawah komando Imaduddin Zangi, Gubernur Mousul, kaum muslimin bergerak maju membendung serangan pasukan Salib bahkan mereka berhasil merebut kembali Aleppo, Adessa (Ar-Ruha’) pada tahun 1144 M.


Setelah Imaduddin Zangi wafat, posisinya digantikan putranya Nuruddin Zangi, dia meneruskan perjuangan ayahnya untuk membebaskan negara-negara Timur dari cengkraman kaum Salib. Kota-kota yang berhasil dibebaskan antara lain Damascus (1147 M), Antiok (1149 M) dan Mesir (1169 M). Keberhasilan kaum muslimin meraih berbagai kemenangan, terutama setelah munculnnya Salahuddin Yusuf Al-Ayyubi (Salahuddin) di Mesir, yang berhasil membebaskan Baitul Maqdis pada tanggal 2 Oktober 1187. Hal ini membuat kaum Salibin untuk membangkitkan kembali basic kekuatan mereka sehingga mereka menyusun kekuatan dan mengirim ekspedisi militer yang lebih kuat.


Dalam ekspedisi ini dikomando oleh raja-raja Eropa yang besar, Frederick I (The Lion Hearted, Raja Inggris) dan Philip II (Augustus, Raja Prancis). Ekpedisi militer Salib kali ini dibagi dalam beberapa devisi, sebagian menempuh jalan darat dan yang lainnya menempuh jalur laut. Frederick yang memimpin devisi darat tewas tenggelam dalam penyebrangannya di sungai Armenia, dekat kota Ar-Ruha’, sebagian tentaranya kembali kecuali beberapa orang yang terus melanjutkan perjalanannya di bawah pimpinan putra Frederick. Adapun devisi yang menempuh jalur laut menuju Sicilia yang dipimpin Richard dan Philip II, disana mereka bertemu dengan pasukan Salahuddin, terjadilah peperangan sengit, karena kekuatan tidak berimbang, maka pasukan Salahuddin mundur, dan Kota Acre ditinggalkan oleh Pasukan Salahuddin dan menuju ke Mesir untuk mempertahankan daerah itu.


Dalam keadaan demikian kedua belah pihak melakukan gencatan senjata dan membuat suatu perjanjian damai, inti perjanjian damai tersebut adalah: “Daerah pedalaman akan menjadi milik kaum muslimin dan umat Kristen, yang akan berziarah ke Baitul Maqdis akan terjamin keamanannya, sedangkan daerah pesisir utara, Acre dan Jaffa berada di daerah kekuasaan tentara Salib.” Tidak lama kemudian setelah perjanjian disepakati, Salahuddin wafat pada bulan Safar 589 H atau Februari 1193 M.


c. Perang Salib III (1193-1291 M)
Perang Salib III ini timbul sebab bangkitnya Mesir dibawah pimpinan Shalahuddin, berkat kesuksesannya menaklukkan Baitul Maqdis dan kemampuannya mengatasi angkatan angkatan perang Prancis, Inggris, Jerman dan negara-negara Eropa lainnya. Kejadian tersebut dapat membangunkan Eropa-Barat untuk menyusun angkatan Perang Salib selanjutnya atas saran Guillaume. Perang Salib III ini dipimpin oleh Kaisar Fredrick I Barbarosa dari Jerman Philip II August (Raja Prancis dan Inggris), Richard The Lion Heart. Ketika itu pasukan Jerman sebanyak 100.000 orang dibawah pimpinan Frederick Barbarosa, tetapi nasibnya sangat malang, ketika ia menyeberang, sebuah sungai yang jeram di Sisilia-Armenia ia mati tenggelam sehingga pasukannya kehilangan pemimpin dan pasukannya patah semangat, akhirnya pasukan tersebut ada yang memilih kembali ke negerinya dan ada pula yang terus untuk bergabung dengan pasukan lainnya. 


Tentara Inggris dan Prancis bertemu di Saqliah dan disini juga terjadi perselisihan antara Philiph dengan Richard yang akhirnya mereka kembali sendiri-sendiri. Richard mengambil jalan melalui Cyprus dan Philiph langsung menuju Palestina dan mengepung Akka. Akhirnya Akka dan Yaffa jatuh ditangan tentara Salib tetapi tidak bisa menduduki Baitul Maqdis dan dibuatlah perjanjian damai antara kedua belah pihak di Ramlah atau dapat disebut perjanjian Ar-Romlah (Hasan, 1967:99).

Tidak lama setelah perdamaian tersebut Shalahuddin wafat, dan digantikan oleh saudaranya Sultan Adil. Shalahuddin wafat setelah berhasil mempersatukan umat Islam dan mengembalikan Baitul Maqdis ke tangan umat Islam. Periode ini lebih dikenal dengan periode perang saudara kecil-kecilan atau periode kehancuran di dalam pasukan Salib sendiri. Hal ini disebabkan karena periode ini lebih disemangati oleh ambisi politik untuk memperoleh kekuasaan dan sesuatu yang bersifat material, dari motivasi agama.
 

Tujuan mereka untuk membebaskan Baitul Maqdis seolah-olah mereka lupakan, hal ini dapat dilihat ketika pasukan Salib yang disiapkan menyerang Mesir (1202-1204 M) ternyata mengubah haluan menuju Constantinople, kota ini direbut dan diduduki lalu dikuasai oleh Baldwin sebagai rajanya yang pertama. Dalam periode ini telah terukir dalam sejarah yaitu munculnya pahlawan wanita yang terkenal dan gagah berani yaitu Syajar Ad-Durr, dia berhasil menghancurkan pasukan Raja Lois IX, dari Prancis dan sekaligus menangkap raja tersebut.

Dalam periode ini pasukan Salib selalu menderita kekalahan. Meskipun demikian mereka telah mendapatkan hikmah yang sangat besar, mereka dapat mengetahui kebudayaan dan peradaban Islam yang sudah sedemikian majunya, bahkan kebudayaan dari Timur-Islam menyebabkan lahirnya renaisansce di Barat.


d. Perang Salib IV (1202-1206 M)
Tentara Salib berpendapat bahwa jalan untuk merebut kembali Baitul Maqdis adalah harus dikuasai terlebih dahulu keluarga Bani Ayyub di Mesir yang menjadi pusat persatuan Islam ketika itu. Oleh karena itu kaum Salib memusatkan perhatian dan kekuatannya untuk menguasai Mesir.(Sou’yb, 1978:98). Akan tetapi Perang Salib IV ini dilakukan atas kerja sama dengan Venesia dan bekas kaisar Yunani. Tentara Salib menguasai Konstatinopel (1204 M) dan mengganti kekuasaan Bizantium dengan kekuasaan latin disana. Pada waktu itu Mesir diperintah oleh Sultan Salib, maka dikuatkanlah perjanjian dengan orang-orang Kristen pada tahun 1203-1204 M dan 1210-1211 M. Isi perjanjian itu adalah mempermudah orang Kristen ziarah ke Baitul Maqdis dan menghilangkan permusuhan antara kedua belah pihak.


e. Perang Salib V (1217–1221 M)
Perang Salib V tetap berada di Konstantinopel dan tidak henti-hentinya terjadi konflik dengan pihak Kaisar. Perang Salib V dipimpin oleh Jeande Brunne Kardinal Pelagius serta raja Hongaria, meskipun pada tanggal 5 November 1219 kota pelabuhan Damietta mereka rebut, namun dalam perjalanan ke Kairo pada tanggal 24 Juli 1221 mereka membuat kekacauan di Al Masyura ( tepi sungai Nil) kemudian mereka pulang kampung.


f. Perang Salib VI (1228–1229 M)
Perang Salib VI dipimpin oleh Frederick II dari Hobiens Taufen, Kaisar Jerman dan raja Itali dan kemudian menjadi Raja muda Yerussalem lantaran berhasil menguasai Yerussalem tidak dengan perang tapi dengan perjanjian damai selama 10 tahun dengan Sultan Al-Malikul Kamil, keponakan Shalahuddin al-Ayyubi, namun 14 tahun kemudian yakni pada tahun 1244 kekuasaan diambil alih Sultan Al Malikul Shaleh Najamuddin Ayyub beserta Kallam dan Damsyik.


g. Perang Salib VII (1248–1254 M)
Peperangan ini dipimpin oleh Raja Louis IX dari Perancis pada tahun 1248, namun pada tahun 1249 tentara Salib berhasil menguasai Damietta (Damyat). Dimasa inilah pemimpin angkatan perang Islam, Malikul Shaleh mangkat kemudian digantikan putranya Malikul Asraff Muzafaruddin Musa. Ketika Louis IX gagal merebut Antiock yang dikuasai Sultan Malik Zahir Bay Bars pada tahun 1267/1268, lalu hendak merebut Tunis, ia beserta pembesar-pembesar pengiringnya ditawan oleh pasukan Islam pada 6 April 1250 dalam satu pertempuran di Perairan Mesir, setelah mereka memberi uang tebusan, maka mereka dibebaskan oleh Tentara Islam dan mereka balik ke negerinya.


h. Perang Salib VIII (1270-1272 M)
Dalam Perang Salib VIII yaitu pada tanggal 25 Agustus 1270 ini Louis IX telah binasa ditimpa penyakit (riwayat lain menyebutkan ia terbunuh). Akhirnya pada tahun 1492 Raja Ferdinad dan Ratu Isabella sukses menendang habis umat Islam dari Granada, Andalusia. Riwayat lain juga menjelaskan bahwa Perang Salib VIII ini tidak sempat terbentuk karena kota terakhir yakni Aere yang diduduki oleh tentara Salib malahan berhasil dikuasai oleh Malikul Asyraf (putra Malikul Shaleh). Dengan demikian terkuburlah Perang Salib oleh Perang Sabil. Tetapi meskipun Perang Konvensional dan Frontal itu sudah berakhir secara formal, namun sesungguhnya perang jenis lain yang kwalitasnya lebih canggih terus saja berlangsung seiring dengan kemajuan zaman.


i. Perang Salib Lanjutan (1291-1344 M)
Dalam Perang Salib lanjutan ini ada beberapa faktor yang melatar belakanginya yaitu ketika kaum muslimin mundur dari Cordova atau Granada oleh Ferdinand, Leon dan Castelin. Pada saat degradasi politik seperti itu Islam sedikit demi sedikit basic kekuatannya menurun. Adapun faktor lain yaitu; adanya perjanjian Tordessilas, yang menjadi semangat agama-agama katolik.


Perjanjian itu ditetapkan pada 4 Mei 1493, yang menyatakan antara lain; “Bahwa kepercayaan agama Katolik dan agama Kristen teristimewa pada zaman kita ini, harus dimulyakan dan disempurnakan, serta disebarkan dimana-mana dan harus mengambil alih Kerajaan Granada dari kelaliman para sara (muslimin)”. Dengan adanya perjanjian tersebut, Perang Salib dikobarkan lagi dan dilancarkan oleh orang-orang Portugis dengan tujuan bukan lagi mencari keuntungan, tetapi melakukan ekspansi politik dan ekspansi keagamaan dan musuh pertama yang dihadapi adalah negara Islam. Para pendeta dan lembaga-lembaga missionaris oleh orang-orang Dunia Islam dianggap sebagai imperialisme. Dan merupakan satu aspek usaha penyingkiran lembaga-lembaga pribumi atau Islam dengan menggantikan sejarah setempat dengan kurikulum Barat.



D. Dampak Perang Salib
Dalam penyebaran pasukan Salibin terhadap umat Islam, menjadi fenomena yang disertai timbulnya sentimen keagamaan yang kuat. Dengan adanya motif ini, maka membawa pengaruh besar terhadap hubungan antar pemeluk agama Islam dan Kristen dalam waktu yang panjang (Al-Ghozali, 1987:59). Melihat dari beberapa gambaran yang ada maka dapat disimpulkan bahwa, meskipun Perang Salib sudah berakhir namun pada hakekatnya belum berakhir, hal ini karena adanya perkembangan-perkembangan selanjutnya, yang walaupun tidak dalam bentuk yang lain, yang sekaligus merupakan suatu hubungan yang sulit untuk dipisahkan.



*Note:
Tulisan ini bukan bermaksud untuk menjelekkan salah satu agama, tulisan ini hanya dimaksudkan sebagai referensi atau pengetahuan bagi para pembaca. Terima kasih

Sumber:
Dari berbagai sumber

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Syahrazad Dan Kisah 1001 Malam

Kenapa Bendera Indonesia Berwarna Merah Putih?

Mau Tau, Sejarah Setrika